Kendaraan Logistik Pilih Jalur Pantura Ketimbang Tol
Yosepha Debrina Ratih Pusparisa
Kompas.id
2024-01-17
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan jalan tol selama ini dinilai belum berpihak kepada para pelaku logistik. Tarif tol yang tinggi dirasa memberatkan pengusaha sehingga angkutan barang lebih memilih jalur pantai utara Jawa.
Dalam data Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), jalan tol Jakarta-Surabaya berhasil memangkas setengah waktu tempuh truk angkutan logistik dari 25-27 jam menjadi 13-15 jam. Upaya ini dinilai mampu mempercepat proses distribusi barang-barang yang sensitif terhadap durasi waktu.
Walau pertumbuhan infrastruktur berdampak positif terhadap dunia logistik, dampaknya tak optimal. Buktinya, truk-truk logistik masih mendominasi jalur pantai utara (pantura) Pulau Jawa.
”Sayangnya, di sisi lain, tol itu harusnya didominasi truk. Namun, tarif tol untuk truk itu mahal sekali sehingga masih banyak pemain transportasi yang menggunakan jalur pantura untuk menghindari biaya tol,” ujar Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Antar Institusi Internasional ALI Adhitya Sari dalam ”2024 Growth Opportunites: Navigating Indonesia’s Supply Chain and Logistics Landscape”,di Jakarta, Selasa (16/1/2024).
Biaya tol untuk jenis kendaraan logistik dinilai masih memberatkan. Proporsinya mencapai 20 persen dari total biaya transportasi. Pungutan liar alias pungli pun menjadi komponen dalam beban biaya logistik kendaraan darat.
Ketua ALI Mahendra Rianto mengatakan, mayoritas angkutan logistik masih memanfaatkan transportasi darat. Padahal, biaya yang ditanggung paling mahal dibandingkan dengan penggunaan kereta api dan kapal.
Berdasarkan data Badan Pengatur Jalan Tol, tarif tol golongan I (kendaraan berukuran kecil; sedan, jip, truk kecil, bus) sebesar Rp 719.000 dari Jakarta hingga Surabaya (Warugunung). Besarannya bertambah untuk golongan di atasnya, mulai dari Rp 1,1 juta untuk golongan II (truk dua gandar) hingga Rp 1,2 juta bagi golongan V (truk lima gandar).
Moda alternative
Truk angkut logistik bukanlah satu-satunya cara untuk berperan dalam proses rantai pasok. Ada moda transportasi lain yang digadang-gadang dapat meringankan beban biaya.
Menurut Adhitya, ada moda transportasi lain yang dapat menekan biaya logistik sehingga proses distribusi pun dapat lebih efisien. Kereta api menjadi alternatif mengurangi biaya transportasi darat karena memiliki daya angkut yang besar. Moda ini mampu mengurangi kepadatan jalur Pantura. Namun, pada kenyataannya, kereta api hanya berkontribusi 2 persen dari total moda transportasi logistik di darat.
Transportasi laut antarpulau dapat diupayakan dengan memanfaatkan kapal roll-on/roll-off atau roro. Selain mengangkut penumpang, kapal ini dapat melakukan bongkar-muat barang yang diharapkan bisa menormalisasi biaya logistik menjadi lebih murah.
Selain alternatif tersebut, setidaknya truk-truk angkutan logistik juga didukung dengan tarif tol yang terjangkau. Mahendra menilai kendaraan-kendaraan besar itu tak akan kembali melalui jalur pantura, apalagi ketika larangan diterapkan diikuti dengan penyesuaian tarif.
Adapun akademisi Institut Transportasi dan Logistik (ITL) Trisakti, Jakarta, Suripno, berpendapat, pemerintah seharusnya memberikan potongan tertentu bagi angkutan logistik sebagai pengguna jalan tol. Apabila masih ditentukan seluruhnya oleh pengelola jalan tol, orientasinya masih bisnis. Padahal, kebijakan publik dibutuhkan untuk menekan biaya logistik.
”Misi pemerintah itu mengadakan jalan untuk menghubungkan seluruh titik tanpa membayar,” ujarnya.
Saat ini, tak ada pembatasan jumlah kendaraan pribadi dan logistik yang melalui jalan tol. Butuh kebijakan subsidi dari pemerintah bagi kendaraan logistik agar tarif tol diturunkan. Tarif tol kendaraan pribadi semestinya dapat menyubsidi tarif tol kendaraan logistik. Sebab, kendaraan pribadi memiliki lebih banyak pilihan akses jalan.
Prospek pasar logistik
Dalam konteks mengintegrasikan pasar logistik Indonesia, upaya seluruh pihak untuk menekan biaya logistik mulai terlihat. Persaingan meningkat dibarengi dengan pembangunan infrastruktur yang berlanjut.
Menurut Director of Supply Chain and Logistics Practice Frost and Sullivan, pemerintah Indonesia berhasil menurunkan biaya logistik dari 24 persen produk domestik bruto (PDB) pada 2022 menjadi 14,3 persen pada September 2023. Namun, masih banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk memanfaatkan peluang yang ada.
Digitalisasi menjadi tren 2024 yang perlu diikuti. Lokapasar dapat menyetir transformasi pada sektor logistik, menyesuaikan kebutuhan spesifik konsumen Indonesia. Integrasi teknologi, seperti kecerdasan buatan (AI) dan internet of things (IoT) dapat mendukung perubahan ini.
Pasar domestik Indonesia diestimasikan sekitar 195 miliar dollar AS atau Rp 3 triliun dengan kurs Rp 15.592 per dollar AS. Hal ini disokong konsumsi domestik, pertumbuhan perdagangan, serta perkembangan infrastruktur.
Dari besaran 195 miliar dollar AS itu, dapat dibagi lagi menjadi enam kelompok pasar. Transportasi pedalaman (inland)masih mendominasi hingga 34 persen, diikuti pergudangan (24 persen), jasa pengiriman barang (21 persen), transportasi maritim (9 persen), jasa pergudangan (9 persen), serta layanan penambah nilai (4 persen).
Sumber Berita :
https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2024/01/16/kendaraan-logistik-pilih-jalur-pantura-ketimbang-tolBerita Terbaru
Strategi Kemendag Raih Target Biaya Logistik Turun jadi 12% pada 2029
2025-11-05
Liputan6.com, Jakarta - Rasio biaya logistik nasional ditargetkan turun menjadi 12% terhadap Produk Domestik Bruto pada 2029. Lalu biaya logistik nasional ditargetkan merosot menjadi 8%. Langkah ini sebagai upaya naikkan daya saing dan menekan harga produk lokal supaya lebih terjangkau di pasar domestik dan global.Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Iqbal Shoffan Shofwan, seperti dikutip dari Antara, ditulis Rabu (5/11/2025).Ia menuturkan, efisiensi logistik menjadi salah satu kunci utama memperkuat struktur biaya produksi nasional.Saat ini, biaya logistik Indonesia masih berada di level 14,29% terhadap PDB, jauh lebih tinggi dibandingkan rasio di negara-negara maju yang berada pada kisaran 8–10%."Kami baru mau akan menargetkan dari 14,29% menjadi 12% di tahun 2029. Kemudian di 2045, kami baru mau akan (mengupayakan) menjadi 8%,” kata Iqbal Shoffan Shofwan.Ia menuturkan, penurunan bertahap hingga 8 persen pada 2045 tersebut juga akan diiringi dengan perbaikan infrastruktur, digitalisasi rantai pasok, dan sinergi antarinstansi.Iqbal menilai, tantangan utama Indonesia terletak pada karakteristik geografis sebagai negara kepulauan dan perbedaan tingkat penggunaan teknologi produksi dibandingkan negara pesaing, seperti Vietnam dan India."Salah satu tantangan pemasaran produk buatan Indonesia adalah affordable cost (harga yang terjangkau), karena berbicara harga yang terjangkau sangat kompleks, materialnya bagaimana, kemudian penggunaan teknologinya seperti apa, misalnya kita bandingkan dengan Vietnam, dengan India, itu kayaknya kita masih di bawah,” kata Iqbal.Langkah KemendagUntuk mencapai target efisiensi tersebut, Kemendag telah menempuh langkah-langkah konkret, salah satunya melalui penerapan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 92 Tahun 2020 tentang Perdagangan Antarpulau.Selain itu, pemerintah juga membangun digitalisasi sistem distribusi antarpulau yang memungkinkan pelaku usaha hanya melakukan satu kali input data untuk seluruh proses pengiriman barang, mulai dari manifes muatan hingga instruksi pengapalan."Setiap pelaku usaha itu cukup memasukkan satu input saja, kemudian itu bisa digunakan mulai dari masuk pelabuhan, (penerbitan) shipping instruction, dan segala macam. Jadi lebih efisien,” ujar Iqbal.Pihaknya juga tengah berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk memastikan integrasi sistem transportasi darat dan laut, serta pengumpulan data muatan yang lebih detail dan akurat.“Kami menginginkan barang-barang yang dibawa, yang bergerak itu dari Sumatera ke Jawa misalnya, itu tidak hanya tercatat berat truknya berapa, tapi juga apa yang dibawa, jumlahnya berapa, dan ke mana (tujuan pengirimannya),” ujar dia.Pengusaha Buka-bukaan Penyebab Biaya Logistik Indonesia MahalSebelumnya, Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) membongkar sejumlah komponen yang membuat biaya logistik di Indonesia masih mahal. Beberapa komponen itu selalu dipungut dalam setiap lini rantai pasok domestik.Ketua Umum ALI Mahendra Rianto mengatakan, Indonesia sebagai negara kepulauan, seharusnya serius menggarap transportasi laut. Namun, kenyataannya, masih terlalu berfokus pada angkutan darat."Biaya logistik tadi sudah disampaikan, bahwa ternyata strukturnya adalah karena Indonesia kepulauan, maka biaya terbenar adalah transportasi 39-40 persen itu transportasi. Nah kalau mau kita efisiensikan Ayo kita bahas masalah transportasi ini mana yang paling efisien," ungkap Mahendra di Jakarta, dikutip Jumat (24/1/2025).Melihat dari pandangan rantai pasok, dari first mile hingga last mile, menjadi komponen biaya logistik. Misalnya, ketika produsen menyimpan bahan baku di pelabuhan usai pengiriman, ini menimbulkan biaya.Penyebab Lain Biaya Logistik Mahal"Kalau kita sebagai produsen keep raw material, di pelabuhan 3 hari, raw material itu kena biaya charge, storage charge, belum lagi demurage kalau itu breakbound kalau itu kontainer, belum lagi detention cost, itu menjadi bebannya importir," bebernya.Tak berhenti di situ, ada biaya lagi hasil produksi memerlukan ruang penyimpanan saat proses distribusi. Pada titik ini, produsen bahkan harus merogoh kocek kembali sekitar 8-10 persen untuk biaya yang disebut inventory carrying cost."Kemudian warehouse cost, penyimpanan raw material warehouse, sementara industri-industri sekarang meng-outsource warehouse sewa third party logistic, cost, distribution center, sewa gudang, cost. Yang terakhir biaya admin dan IT Itu sekitar 3-5 persen, itula persentase yang bisa kita lakukan," urainya.
Pemerintah Percepat Penurunan Biaya Logistik Untuk Daya Saing Nasional
2025-11-05
JAKARTA - Pemerintah menargetkan rasio biaya logistik nasional turun menjadi 12 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2029, dengan tujuan jangka panjang menurunkannya hingga 8 persen. Langkah ini diambil sebagai upaya meningkatkan daya saing produk dalam negeri sekaligus menekan harga agar lebih terjangkau di pasar domestik maupun internasional. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Iqbal Shoffan Shofwan, menegaskan bahwa efisiensi logistik menjadi kunci utama dalam memperkuat struktur biaya produksi nasional. Saat ini, biaya logistik Indonesia masih tinggi, yaitu 14,29 persen terhadap PDB, jauh di atas negara maju yang rata-rata berada di 8–10 persen. Iqbal menambahkan bahwa tantangan utama berasal dari karakteristik geografis sebagai negara kepulauan dan perbedaan pemanfaatan teknologi produksi dibandingkan negara pesaing seperti Vietnam dan India.Selain itu, pemerintah menekankan pentingnya affordable cost atau harga produk yang terjangkau, karena biaya produksi sangat dipengaruhi bahan baku, efisiensi proses, dan teknologi yang digunakan. “Kalau dibandingkan dengan Vietnam dan India, kita masih di bawah dalam hal efisiensi dan harga terjangkau,” ucap Iqbal. Penurunan biaya logistik ini juga menjadi fondasi bagi penguatan daya saing produk lokal sehingga mampu bersaing di pasar global, terutama untuk produk ekspor yang membutuhkan struktur biaya yang lebih kompetitif.Langkah Konkrit Kemendag Tingkatkan EfisiensiUntuk mencapai target efisiensi, Kemendag telah menerapkan beberapa langkah strategis, termasuk Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 92 Tahun 2020 tentang Perdagangan Antarpulau. Peraturan ini mendukung sistem distribusi logistik yang lebih efisien melalui digitalisasi, memungkinkan pelaku usaha cukup memasukkan satu kali input data untuk seluruh proses pengiriman barang. Sistem ini mencakup manifes muatan hingga instruksi pengapalan, sehingga mempercepat arus barang dari pelabuhan ke tujuan akhir.Selain itu, Kemendag berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan untuk memastikan integrasi transportasi darat dan laut serta pengumpulan data muatan yang lebih akurat. Dengan integrasi ini, barang yang bergerak dari Sumatera ke Jawa misalnya, dapat tercatat lengkap mulai dari jenis barang, jumlah, hingga tujuan pengiriman. Iqbal menekankan bahwa efisiensi tidak hanya soal biaya tetapi juga kecepatan dan akurasi distribusi, sehingga seluruh rantai pasok nasional menjadi lebih kompetitif.Komponen Biaya Logistik Masih TinggiAsosiasi Logistik Indonesia (ALI) mengungkap sejumlah faktor yang membuat biaya logistik di Indonesia tinggi. Ketua Umum ALI, Mahendra Rianto, menjelaskan bahwa biaya transportasi masih mendominasi, terutama karena fokus angkutan darat belum optimal untuk negara kepulauan. Transportasi darat memakan 39–40 persen dari total biaya logistik, sehingga perlu evaluasi efisiensi transportasi laut dan interkoneksi antar pulau.Selain transportasi, komponen first mile hingga last mile turut memengaruhi biaya, termasuk biaya penyimpanan bahan baku di pelabuhan setelah pengiriman. Proses ini menimbulkan biaya tambahan yang cukup besar bagi produsen, dan menjadi salah satu faktor utama tingginya biaya logistik nasional. Mahendra menekankan bahwa penurunan biaya logistik tidak hanya berdampak pada harga barang, tetapi juga mendukung kelancaran ekspor-impor dan daya saing nasional.Tantangan Lain dalam Rantai PasokBiaya lain yang ikut membebani logistik adalah inventory carrying cost atau biaya penyimpanan barang selama distribusi, yang bisa mencapai 8–10 persen dari nilai produk. Warehouse cost atau biaya gudang juga memakan porsi signifikan, meskipun banyak industri kini memilih menyewa pihak ketiga sebagai third party logistic. Selain itu, biaya administrasi dan IT menyumbang sekitar 3–5 persen.Menurut Iqbal, kombinasi perbaikan infrastruktur, digitalisasi rantai pasok, dan sinergi antarinstansi menjadi strategi utama untuk menurunkan biaya logistik secara bertahap hingga 12 persen pada 2029, kemudian 8 persen pada 2045. Kebijakan ini diharapkan tidak hanya menekan harga produk, tetapi juga meningkatkan efisiensi dan profesionalisme pelaku usaha, mendukung perekonomian nasional, serta mendorong Indonesia menjadi negara dengan logistik yang kompetitif di level global.
Pengusaha Logistik: Cek Fisik Jalur Hijau Bea Cukai Tak Efektif Kerek Penerimaan
2025-10-05
Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) menilai langkah cek fisik jalur hijau oleh Bea Cukai di pelabuhan bukanlah cara yang efektif untuk menambah pundi-pundi kas negara melalui penerimaan negara dari kepabeanan. Ketua Umum ALI Mahendra Rianto memandang bahwa meningkatkan penerimaan negara melalui penegakan hukum dapat dilakukan dengan menambah jumlah mesin pemindai kontainer. Dengan alat pemindai canggih yang lebih banyak, arus kontainer yang diperiksa otomatis akan lebih banyak dan mempercepat waktu tunggu barang (dwelling time). “Sudah bukan zamannya lagi periksa fisik. Alat-alat canggih sekarang sudah banyak. Cuma kan banyak alasan, apakah rusak, ataukah jumlahnya cuma sedikit [alatnya]. ” ujarnya kepada Bisnis, dikutip pada Minggu (5/10/2025). Untuk diketahui, jalur hijau merujuk pada sistem pelayanan serta pengawasan dengan tidak melakukan pemeriksaan fisik terhadap pengeluaran barang impor. Namun, pemeriksaan tetap dilakukan melalui penilaian dokumen dan penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB). Jalur hijau ditujukan untuk importir dengan risiko sedang yang mengimpor barang dengan risiko rendah, serta importir dengan risiko rendah yang mengimpor barang dengan risiko rendah atau sedang. Mahendra menganalogikan, kapal-kapal yang membawa kontainer sama halnya dengan seseorang yang akan membayar di supermarket. Apabila konter yang tersedia banyak untuk melakukan pembayaran dan memindai harga, tak akan ada antrean panjang.Mahendra menyayangkan kebijakan pemerintah yang berubah-ubah. Terlebih, kesiapan pemeriksaan terhadap jalur hijau—di samping jalur merah yang juga wajib dicek fisik—belum tentu memadai dan dikhawatirkan menimbulkan antrean, serta memperpanjang dwelling time.Mengutip situs resmi Indonesia National Single Window (INSW), dwelling time di pelabuhan-pelabuhan Indonesia rata-rata selama 2,47 hari berdasarkan data per Agustus 2025. Untuk itu, Mahendra meminta agar pemerintah tidak mengambil kebijakan yang berlawanan dengan yang sudah dilakukan sebelumnya. Cukup dengan menambah dan memperbanyak alat pindai canggih di seluruh pelabuhan. “Penambahan PNBP itu sederhana, tambah saja alat pemeriksaan yang modern, yang bisa mendeteksi apapun yang ada di dalam kontainer. Sama kayak di pelabuhan udara [bandara]” tambahnya. Sementara saat ini, pelabuhan-pelabuhan di Indonesia telah menggunakan sistem Hi-Co Scan. Mengutip laman resmi Kementerian Perhubungan, teknologi ini memungkinkan pemeriksaan dan pemindaian barang yang lebih cepat dan akurat sehingga diharapkan dapat mengurangi waktu antrean dan meningkatkan produktivitas di pelabuhan. Selain itu, data yang dihasilkan oleh sistem ini juga dapat mendukung perencanaan dan pengambilan keputusan yang lebih baik. Sebelumnya, wacana pemeriksaan fisik jalur hijau terlontar dari Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa. Harapannya, penegakan hukum dan kepatuhan di bidang kepabeanan dapat membantu penerimaan negara yang ditargetkan lebih tinggi tahun depan. "Jalur ini biasanya enggak diperiksa. Sekarang kita randomize sehari berapa biji, 10 atau lebih, dites random, jadi enggak bisa main-main lagi," jelasnya. Dirinya juga memastikan hal tersebut tidak akan mengganggu dwelling time maupun kelancaran bongkar muat barang di pelabuhan. Purbaya malah mencurigai importir yang mengkritisi rencananya tersebut. "Makanya saya random sampel, enggak akan terus-terusan banyak. Mereka ketakutan nyembunyiin apa tuh?" kata Purbaya sambil tertawa.
