ALI Ingin Ada Badan Tersendiri Urusi Sektor Logistik, Karena..
Redaksi
Oceanweek.co.id
2023-02-01
Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) berharap pemerintah membentuk satu badan untuk menangani berbagai persoalan menyangkut sektor logistik.
“Idealnya masalah industri logistik, semua yang terkait dengan perlogistikan ada badan tersendiri, dan kami ingin pemerintah membentuk suatu lembaga atau badan tersendiri,” kata Mahendra Rianto, Ketua Umum ALI, didampingi Dr. Nofrisel, Ketua Dewan Pakar ALI, kepada wartawan dalam acara media Gathering, bertajuk Perspektif ALI Dalam Menyikapi Perkembangan Industri Logistik Indonesia Tahun 2023, di Jakarta, Rabu sore (1/2).
Pada kesempatan tersebut, Mahendra juga bercerita mengenai bagaimana perkembangan industri logistik nasional yang tak lepas dari kondisi global.
Penegakan terhadap peraturan dalam rantai pasok yang sudah dibuat pemerintah pusat dan daerah pun menjadi sorotan ALI.
Mahendra menyatakan bahwa secara umum ekonomi Indonesia tidak bisa sepenuhnya lepas dari konstalasi pengaruh ekonomi global, tetapi dimungkinkan bagi Indonesia untuk tetap mencari celah-celah ketidak-tergantungan kepada dunia internasional.
Karenanya, pengaruh global supply chain (rantai pasok) adalah salah satu pemicu yang cukup berpengaruh. karena itu perlu dilakukan penyikapan melalui kebijakan dan strategi pemerintah dan dunia usaha yang tepat agar fundamental ekonomi Indonesia tetap kuat.
ALI juga menyampaikan beberapa hal terkait dengan perkembangan ekonomi Indonesia yang didasarkan atas perspektif supply chain.
Menurut ALI, pemerintah dan semua stakeholders terkait haruslah selalu berupaya untuk meningkatkan usaha yang sungguh-sungguh untuk melahirkan dan mendukung industri yang berorientasi kepada value added product and services pada satu sisi, dan melakukan peningkatan efisiensi yang tinggi secara konsisten pada sisi yang lain.
“Sehingga pada akhirnya nanti, dapat membalikkan neraca keuangan Negara menjadi positif pada periode waktu tertentu,” ujar Mahendra.
Selain itu, ungkap Mahendra, jangan mengabaikan faktor-faktor kritis, seperti krisis energi, penerapan teknologi berbasis digital, dan peningkatan yang signifikan atas kontribusi UMKM nasional, yang diharapkan menjadi fokus utama, yang didukung oleh kompetensi SDM yang tinggi, kolaborasi yang produktif dan penegakan hukum yang proporsional untuk menunjang kepastian bisnis.
Mahendra mengungkapkan, jika melihat beberapa hal pokok terkait dengan perkembangan ekonomi Indonesia yang didasarkan atas perspektif supply chain, ALI menyatakan bahwa, pengembangan industri nasional untuk melahirkan komoditi dan produk-produk yang memiliki value-added tinggi perlu didukung oleh biaya logistik yang bersaing, dengan terus menerus mengupayakan pemangkasan biaya yang tidak efisien, termasuk simplikasi regulasi, standarisasi yang semakin baik dan penegakan disiplin yang tinggi.
Bayangkan saja, hingga kini cost logistik Indonesia masih dinilai tinggi dibandingkan Malaysia, Philipina, dan beberapa negara lainnya.
“Pengalaman berharga menyangkut treatment manajerial atas bisnis startup, yang pada akhir tahun 2022 terjadi gejolak negatif, perlu dijadikan pembelajaran agar kita tidak terlalu menggantungkan harapan tinggi yang sifatnya tidak sustain,” ucapnya.
ALI juga menyatakan agar pemantauan dan pengembangan industri e-commerce dimana Indonesia merupakan salah satu barometer nya, perlu dilanjutkan dengan kebijakan yang berpihak dan berfokus kepada “Pelapak” nya, agar dapat menghasilkan produk-produk yang dapat bersaing dan masuk dalam pasar ecommerce regional.
Salah satu kebijakan yang sudah baik dijalankan, jelasnya, adalah dengan menetapkan de minimis sebesar US$ 3 per consignment note untuk nilai barang-barang impor e-commerce adalah tepat dan melindungi produk-produk UMKM domestik.
“ALI berharap kebijakan-kebijakan seperti itu terus dilanjutkan dalam tahun 2023 ini dimana fokus Pemerintah adalah kegeliatan ekonomi domestik,” ujar Mahendra.
Rekomendasi ALI
Atas beberapa konklusi pokok tersebut, delapan rekomendasi kemudian disampaikan ALI.
Pertama, saling ketergantungan antar negara secara global telah mendorong perhatian yang lebih serius dalam menyikapi global supply chain. Oleh karena itu, pemerintah disarankan terus mencermati perkembangan global supply chain, untuk melihat dan mengambil posisi tawar Indonesia yang lebih kuat, serta untuk menjamin sustainability.
Kedua, pengembangan kebijakan hilirisasi oleh pemerintah sangat kita sambut positif karena sejalan dengan pandangan ALI bahwa kebijakan ini adalah dalam rangka mengembangkan value-added products and services. Termasuk dalam konteks ini adalah kebijakan tentang TKDN yang lebih ketat dan proporsional.
Ketiga, ALI menyambut positif langkah pemerintah untuk juga menyiapkan Indonesia menghadapi ancaman krisis energi, baik melalui pengembangan energi baru terbarukan, termasuk konversi dari energi berbasis fosil ke berbasis elektrik. Dalam hal ini, di tahun 2023, ALI mendorong Pemerintah juga menerbitkan Kebijakan-Kebijakan berkaitan dengan Konversi Angkutan Logistik berbasis BBM fosil (solar dan Pertalite) menjadi berpenggerak Elektrik dan mendorong peran Akademisi dalam implementasinya bersama Pelaku Jasa Logistik serta Kementerian/Lembaga terkait erat, dan juga untuk Pusat Uji Coba Kendaraan Konversi Elektrik tersebut.
Keempat, sudah sangat banyak program pemerintah menyangkut pengembangan UMKM nasional, ALI menyambut positif hal ini. Namun ALI menyarankan agar konten perspektif logistik (pengetahuan proses pengiriman yang efisien, packaging, ekspor-impor, penataan gudang, pemanfaatan teknologi, pengembangan SDM, dsb) hendaklah juga mendapat perhatian yang lebih dalam pembinaan UMKM
Kelima, sebagai bagian dari global supply chain, Indonesia diharapkan semakin mengembangkan sistem standarisasi, baik untuk barang maupun servis. Khusus untuk logistik, Indonesia secara intensif sudah terlibat dalam kesepakatan standarisasi pada bidang packaging, alat angkut dan pallet. Disarankan agar hal ini terus ditingkatkan untuk menciptakan produk dan servis yang lebih berdaya saing tinggi sertamenurunkan biaya Logistik nya.
Keenam, salah satu pendorong inflasi tinggi adalah karena proses logistik yang mahal. Oleh karena itu, ALI menyarankan agar pemerintah lebih memperhatikan isu logistik ini dalam konteks penanganan inflasi.
Adanya Team Pengendali Inflasi Pusat dan Daerah (TPI/TPID) yang dibentuk oleh pemerintah, disarankan lebih banyak bekerjasama dengan Asosiasi-Asosiasi Logistik dan Rantai Pasok, untuk mendapatkan masukan terkait proses logistik dan rantai pasok yang terjadi di lapangan.
Ketujuh, pengembangan kompetensi SDM di sektor logistik sudah semakin membaik, namun terasa masih lambat dalam mengikuti perkembangan kebutuhan industri. Oleh sebab itu mendorong semakin banyaknya sekolah ataupun perguruan tinggi membuka jurusan atau fakultas di bidang logistik dan di wilayah wilayah yang akan dikembangkan sebagai pusat-pusat industri, tidak hanya di Pulau Jawa, tapi juga di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, serta peningkatan pendidikan vokasi, profesi dan sertifikasi adalah sebuah keniscayaan yang harus menjadi perhatian semua pihak. Kerjasama antar Lembaga Pendidikan, baik sekolah maupun perguruan tinggi dan atau dengan asosiasi-asosiasi logistik rantai pasok perlu lebih ditingkatkan (Triple Helix Approach).
Kedelapan, Salah satu isu aktual yang menarik adalah kebijakan pengembangan Kawasan Industri Halal dimana didalamnya termasuk penerapan konsep logistik halal. ALI menyambut baik hal ini dan mendorong agar sosialisasi, pelibatan semua stakeholders terkait, termasuk pemerintah daerah, agar lebih intensif dilakukan serta melebarkan fokus kebijakannya menuju pembentukan ekosistem Halal Supply Chain dan Logistik secara bersamaan dengan Halal Financial dan Produk nya.
Proyeksi Pertumbuhan
Sementara itu, Dr. Nofrisel menambahkan, berdasarkan data proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4.7 – 5.3%, serta proyeksi mengenai Industri Sektoral yang di susun Kadin Indonesia yang diproyeksikan antara 1.0 – 7.8%, didukung riset lembaga survey market logistik Indonesia yang diproyeksikan pada tahun 2023 meningkat sekitar 7.9 %, maka ALI memproyeksikan bisnis logistik pada tahun 2023 akan bertumbuh diangka 5 hingga 8 persen.
“Angka ini akan bergantung dengan pertumbuhan ekonomi secara makro dan sektoral serta Industri Logistik harus bisa berinovasi serta memanfaatkan peluang yang belum sepenuhnya tergarap seperti potensi ekonomi daerah (Domestik), potensi digital ekonomi dan sektor UMKM, serta peluang dalam Global Valalue Chain,” katanya.
ALI juga memandang bahwa ekonomi digital dan UMKM memliki potensi yang besar. Karenanya, dengan proyeksi pertumbuhan yang cukup tinggi, sektor logistik sebagai enable harus menangkap peluang yang ini, bahkan menurut studi Lazada 2021sebanyak 65% UMKM merasa logistik menjadi salah satu tantangan terbesar dalam pengembangan usaha mereka.
“Sementara itu, 92% dari UMKM yang telah ter-digitalisasi dan menggunakan platform E-commerce sepakat e-Commerce sangat membantu kebutuhan logistik mereka,” ungkapnya lagi.
Nofrisel juga sepakat penegakan aturan mesti dilakukan dalam masalah rantai pasok ini. “Karena itu, kami juga sepakat pemerintah membentuk suatu badan untuk menangani sektor logistik nasional ini, sehingga bisa fokus,” katanya. (***)
Sumber:
https://oceanweek.co.id/ali-ingin-ada-badan-tersendiri-urusi-sektor-logistik-karena/
Sumber Berita :
https://oceanweek.co.id/ali-ingin-ada-badan-tersendiri-urusi-sektor-logistik-karena/Berita Terbaru
Strategi Kemendag Raih Target Biaya Logistik Turun jadi 12% pada 2029
2025-11-05
Liputan6.com, Jakarta - Rasio biaya logistik nasional ditargetkan turun menjadi 12% terhadap Produk Domestik Bruto pada 2029. Lalu biaya logistik nasional ditargetkan merosot menjadi 8%. Langkah ini sebagai upaya naikkan daya saing dan menekan harga produk lokal supaya lebih terjangkau di pasar domestik dan global.Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Iqbal Shoffan Shofwan, seperti dikutip dari Antara, ditulis Rabu (5/11/2025).Ia menuturkan, efisiensi logistik menjadi salah satu kunci utama memperkuat struktur biaya produksi nasional.Saat ini, biaya logistik Indonesia masih berada di level 14,29% terhadap PDB, jauh lebih tinggi dibandingkan rasio di negara-negara maju yang berada pada kisaran 8–10%."Kami baru mau akan menargetkan dari 14,29% menjadi 12% di tahun 2029. Kemudian di 2045, kami baru mau akan (mengupayakan) menjadi 8%,” kata Iqbal Shoffan Shofwan.Ia menuturkan, penurunan bertahap hingga 8 persen pada 2045 tersebut juga akan diiringi dengan perbaikan infrastruktur, digitalisasi rantai pasok, dan sinergi antarinstansi.Iqbal menilai, tantangan utama Indonesia terletak pada karakteristik geografis sebagai negara kepulauan dan perbedaan tingkat penggunaan teknologi produksi dibandingkan negara pesaing, seperti Vietnam dan India."Salah satu tantangan pemasaran produk buatan Indonesia adalah affordable cost (harga yang terjangkau), karena berbicara harga yang terjangkau sangat kompleks, materialnya bagaimana, kemudian penggunaan teknologinya seperti apa, misalnya kita bandingkan dengan Vietnam, dengan India, itu kayaknya kita masih di bawah,” kata Iqbal.Langkah KemendagUntuk mencapai target efisiensi tersebut, Kemendag telah menempuh langkah-langkah konkret, salah satunya melalui penerapan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 92 Tahun 2020 tentang Perdagangan Antarpulau.Selain itu, pemerintah juga membangun digitalisasi sistem distribusi antarpulau yang memungkinkan pelaku usaha hanya melakukan satu kali input data untuk seluruh proses pengiriman barang, mulai dari manifes muatan hingga instruksi pengapalan."Setiap pelaku usaha itu cukup memasukkan satu input saja, kemudian itu bisa digunakan mulai dari masuk pelabuhan, (penerbitan) shipping instruction, dan segala macam. Jadi lebih efisien,” ujar Iqbal.Pihaknya juga tengah berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk memastikan integrasi sistem transportasi darat dan laut, serta pengumpulan data muatan yang lebih detail dan akurat.“Kami menginginkan barang-barang yang dibawa, yang bergerak itu dari Sumatera ke Jawa misalnya, itu tidak hanya tercatat berat truknya berapa, tapi juga apa yang dibawa, jumlahnya berapa, dan ke mana (tujuan pengirimannya),” ujar dia.Pengusaha Buka-bukaan Penyebab Biaya Logistik Indonesia MahalSebelumnya, Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) membongkar sejumlah komponen yang membuat biaya logistik di Indonesia masih mahal. Beberapa komponen itu selalu dipungut dalam setiap lini rantai pasok domestik.Ketua Umum ALI Mahendra Rianto mengatakan, Indonesia sebagai negara kepulauan, seharusnya serius menggarap transportasi laut. Namun, kenyataannya, masih terlalu berfokus pada angkutan darat."Biaya logistik tadi sudah disampaikan, bahwa ternyata strukturnya adalah karena Indonesia kepulauan, maka biaya terbenar adalah transportasi 39-40 persen itu transportasi. Nah kalau mau kita efisiensikan Ayo kita bahas masalah transportasi ini mana yang paling efisien," ungkap Mahendra di Jakarta, dikutip Jumat (24/1/2025).Melihat dari pandangan rantai pasok, dari first mile hingga last mile, menjadi komponen biaya logistik. Misalnya, ketika produsen menyimpan bahan baku di pelabuhan usai pengiriman, ini menimbulkan biaya.Penyebab Lain Biaya Logistik Mahal"Kalau kita sebagai produsen keep raw material, di pelabuhan 3 hari, raw material itu kena biaya charge, storage charge, belum lagi demurage kalau itu breakbound kalau itu kontainer, belum lagi detention cost, itu menjadi bebannya importir," bebernya.Tak berhenti di situ, ada biaya lagi hasil produksi memerlukan ruang penyimpanan saat proses distribusi. Pada titik ini, produsen bahkan harus merogoh kocek kembali sekitar 8-10 persen untuk biaya yang disebut inventory carrying cost."Kemudian warehouse cost, penyimpanan raw material warehouse, sementara industri-industri sekarang meng-outsource warehouse sewa third party logistic, cost, distribution center, sewa gudang, cost. Yang terakhir biaya admin dan IT Itu sekitar 3-5 persen, itula persentase yang bisa kita lakukan," urainya.
Pemerintah Percepat Penurunan Biaya Logistik Untuk Daya Saing Nasional
2025-11-05
JAKARTA - Pemerintah menargetkan rasio biaya logistik nasional turun menjadi 12 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2029, dengan tujuan jangka panjang menurunkannya hingga 8 persen. Langkah ini diambil sebagai upaya meningkatkan daya saing produk dalam negeri sekaligus menekan harga agar lebih terjangkau di pasar domestik maupun internasional. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Iqbal Shoffan Shofwan, menegaskan bahwa efisiensi logistik menjadi kunci utama dalam memperkuat struktur biaya produksi nasional. Saat ini, biaya logistik Indonesia masih tinggi, yaitu 14,29 persen terhadap PDB, jauh di atas negara maju yang rata-rata berada di 8–10 persen. Iqbal menambahkan bahwa tantangan utama berasal dari karakteristik geografis sebagai negara kepulauan dan perbedaan pemanfaatan teknologi produksi dibandingkan negara pesaing seperti Vietnam dan India.Selain itu, pemerintah menekankan pentingnya affordable cost atau harga produk yang terjangkau, karena biaya produksi sangat dipengaruhi bahan baku, efisiensi proses, dan teknologi yang digunakan. “Kalau dibandingkan dengan Vietnam dan India, kita masih di bawah dalam hal efisiensi dan harga terjangkau,” ucap Iqbal. Penurunan biaya logistik ini juga menjadi fondasi bagi penguatan daya saing produk lokal sehingga mampu bersaing di pasar global, terutama untuk produk ekspor yang membutuhkan struktur biaya yang lebih kompetitif.Langkah Konkrit Kemendag Tingkatkan EfisiensiUntuk mencapai target efisiensi, Kemendag telah menerapkan beberapa langkah strategis, termasuk Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 92 Tahun 2020 tentang Perdagangan Antarpulau. Peraturan ini mendukung sistem distribusi logistik yang lebih efisien melalui digitalisasi, memungkinkan pelaku usaha cukup memasukkan satu kali input data untuk seluruh proses pengiriman barang. Sistem ini mencakup manifes muatan hingga instruksi pengapalan, sehingga mempercepat arus barang dari pelabuhan ke tujuan akhir.Selain itu, Kemendag berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan untuk memastikan integrasi transportasi darat dan laut serta pengumpulan data muatan yang lebih akurat. Dengan integrasi ini, barang yang bergerak dari Sumatera ke Jawa misalnya, dapat tercatat lengkap mulai dari jenis barang, jumlah, hingga tujuan pengiriman. Iqbal menekankan bahwa efisiensi tidak hanya soal biaya tetapi juga kecepatan dan akurasi distribusi, sehingga seluruh rantai pasok nasional menjadi lebih kompetitif.Komponen Biaya Logistik Masih TinggiAsosiasi Logistik Indonesia (ALI) mengungkap sejumlah faktor yang membuat biaya logistik di Indonesia tinggi. Ketua Umum ALI, Mahendra Rianto, menjelaskan bahwa biaya transportasi masih mendominasi, terutama karena fokus angkutan darat belum optimal untuk negara kepulauan. Transportasi darat memakan 39–40 persen dari total biaya logistik, sehingga perlu evaluasi efisiensi transportasi laut dan interkoneksi antar pulau.Selain transportasi, komponen first mile hingga last mile turut memengaruhi biaya, termasuk biaya penyimpanan bahan baku di pelabuhan setelah pengiriman. Proses ini menimbulkan biaya tambahan yang cukup besar bagi produsen, dan menjadi salah satu faktor utama tingginya biaya logistik nasional. Mahendra menekankan bahwa penurunan biaya logistik tidak hanya berdampak pada harga barang, tetapi juga mendukung kelancaran ekspor-impor dan daya saing nasional.Tantangan Lain dalam Rantai PasokBiaya lain yang ikut membebani logistik adalah inventory carrying cost atau biaya penyimpanan barang selama distribusi, yang bisa mencapai 8–10 persen dari nilai produk. Warehouse cost atau biaya gudang juga memakan porsi signifikan, meskipun banyak industri kini memilih menyewa pihak ketiga sebagai third party logistic. Selain itu, biaya administrasi dan IT menyumbang sekitar 3–5 persen.Menurut Iqbal, kombinasi perbaikan infrastruktur, digitalisasi rantai pasok, dan sinergi antarinstansi menjadi strategi utama untuk menurunkan biaya logistik secara bertahap hingga 12 persen pada 2029, kemudian 8 persen pada 2045. Kebijakan ini diharapkan tidak hanya menekan harga produk, tetapi juga meningkatkan efisiensi dan profesionalisme pelaku usaha, mendukung perekonomian nasional, serta mendorong Indonesia menjadi negara dengan logistik yang kompetitif di level global.
Pengusaha Logistik: Cek Fisik Jalur Hijau Bea Cukai Tak Efektif Kerek Penerimaan
2025-10-05
Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) menilai langkah cek fisik jalur hijau oleh Bea Cukai di pelabuhan bukanlah cara yang efektif untuk menambah pundi-pundi kas negara melalui penerimaan negara dari kepabeanan. Ketua Umum ALI Mahendra Rianto memandang bahwa meningkatkan penerimaan negara melalui penegakan hukum dapat dilakukan dengan menambah jumlah mesin pemindai kontainer. Dengan alat pemindai canggih yang lebih banyak, arus kontainer yang diperiksa otomatis akan lebih banyak dan mempercepat waktu tunggu barang (dwelling time). “Sudah bukan zamannya lagi periksa fisik. Alat-alat canggih sekarang sudah banyak. Cuma kan banyak alasan, apakah rusak, ataukah jumlahnya cuma sedikit [alatnya]. ” ujarnya kepada Bisnis, dikutip pada Minggu (5/10/2025). Untuk diketahui, jalur hijau merujuk pada sistem pelayanan serta pengawasan dengan tidak melakukan pemeriksaan fisik terhadap pengeluaran barang impor. Namun, pemeriksaan tetap dilakukan melalui penilaian dokumen dan penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB). Jalur hijau ditujukan untuk importir dengan risiko sedang yang mengimpor barang dengan risiko rendah, serta importir dengan risiko rendah yang mengimpor barang dengan risiko rendah atau sedang. Mahendra menganalogikan, kapal-kapal yang membawa kontainer sama halnya dengan seseorang yang akan membayar di supermarket. Apabila konter yang tersedia banyak untuk melakukan pembayaran dan memindai harga, tak akan ada antrean panjang.Mahendra menyayangkan kebijakan pemerintah yang berubah-ubah. Terlebih, kesiapan pemeriksaan terhadap jalur hijau—di samping jalur merah yang juga wajib dicek fisik—belum tentu memadai dan dikhawatirkan menimbulkan antrean, serta memperpanjang dwelling time.Mengutip situs resmi Indonesia National Single Window (INSW), dwelling time di pelabuhan-pelabuhan Indonesia rata-rata selama 2,47 hari berdasarkan data per Agustus 2025. Untuk itu, Mahendra meminta agar pemerintah tidak mengambil kebijakan yang berlawanan dengan yang sudah dilakukan sebelumnya. Cukup dengan menambah dan memperbanyak alat pindai canggih di seluruh pelabuhan. “Penambahan PNBP itu sederhana, tambah saja alat pemeriksaan yang modern, yang bisa mendeteksi apapun yang ada di dalam kontainer. Sama kayak di pelabuhan udara [bandara]” tambahnya. Sementara saat ini, pelabuhan-pelabuhan di Indonesia telah menggunakan sistem Hi-Co Scan. Mengutip laman resmi Kementerian Perhubungan, teknologi ini memungkinkan pemeriksaan dan pemindaian barang yang lebih cepat dan akurat sehingga diharapkan dapat mengurangi waktu antrean dan meningkatkan produktivitas di pelabuhan. Selain itu, data yang dihasilkan oleh sistem ini juga dapat mendukung perencanaan dan pengambilan keputusan yang lebih baik. Sebelumnya, wacana pemeriksaan fisik jalur hijau terlontar dari Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa. Harapannya, penegakan hukum dan kepatuhan di bidang kepabeanan dapat membantu penerimaan negara yang ditargetkan lebih tinggi tahun depan. "Jalur ini biasanya enggak diperiksa. Sekarang kita randomize sehari berapa biji, 10 atau lebih, dites random, jadi enggak bisa main-main lagi," jelasnya. Dirinya juga memastikan hal tersebut tidak akan mengganggu dwelling time maupun kelancaran bongkar muat barang di pelabuhan. Purbaya malah mencurigai importir yang mengkritisi rencananya tersebut. "Makanya saya random sampel, enggak akan terus-terusan banyak. Mereka ketakutan nyembunyiin apa tuh?" kata Purbaya sambil tertawa.
