Rupiah Tumbang, Hati-hati Harga Barang Makin Mahal, APBN Berdarah-darah
Iwan Purwantono
Inilah.com
2024-12-21

Nilai tukar (kurs) di akhir pekan semakin jauh dari level psikologis Rp16.000, tepatnya Rp16.300/US$, membuat was-was banyak kalangan. Dampaknya bakal luar biasa bagi perekonomian nasional di tahun depan.
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky menyebut, melemahnya rupiah hingga level Rp16.300 per dolar AS, sedikit melihat batas wajar. Namun semuanya akan sangat bergantung dua pekan terkahir ini. "Sudah sedikit melewati. Namun jika menguat pada 1-2 minggu maka masih wajar," kata Awalil, Jakarta, Sabtu (21/12/2024).
Mengingatkan saja, pada Jumat (20/12/2024), rupiah bangkit. Kurs mata uang Garuda menguat kembali di bawah level psikologis Rp16.300 per dolar AS. Rupiah berakhir di level Rp16.221 atau menguat 0,56 persen dibandingkan sebelumnya Rp16.313 per dolar AS.
"Ini sebenarnya biasa dan telah terjadi bertahun-tahun (pememahan rupiah). Sudah diantisipasi BI dan pelaku usaha. Namun tahun ini ada faktor eksternal, yakni The Fed dan Donald Trumph. Alhasil, rupiah melemah lebih cepat dan signifikan dari perkiraan," paparnya.
Awalil mengaku belum yakin bahwa beban pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo pada tahun depan bakal membebani anggaran. Demikian pula pembelian BBM impor membuat anggaran subsidi tekor, masih perlu menunggu perkembangan.
"Toh, asumsi kurs di APBN 2025 kan sebesar Rp16.100 per dolar AS. Jadi, kita lihat dalam beberapa pekan ke depan," ungkapnya.
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia, Mahendra Rianto mengaku galau lantaran kurs rupiah semakin 'ndelosor' ke level terendah.
"Kalau berkaitan dengan uang asing itu yang terdampak adalah cross border logistik ya, itu untuk (perusahaan) yang spesialisasinya untuk impor. Karena impor ini dari luar, biasanya transaksinya dalam dolar AS," kata Mahendra.
Mahendra mengatakan, dampaknya pada perhitungan bea masuk yang harus mengompensasi nilai kurs saat ini. "Sekarang Rp16.300, kan selisihnya berapa persen jadi tingkat nilai pajak masuk bea impornya selisih berapa persen. Karena rate bea cukai itu setiap minggu berubah," Sambungnya.
Sehingga selisih dari nilai kurs itu akan dibebankan kepada harga pokok produksi, selanjutnya membebani keuangan dari importir. Sedangkan bagi perusahaan pengapalan, pelemahan rupiah membuat biaya operasional meningkat. Khususnya dari biaya bahan bakar.
"Bunker adjustment, biasanya bunker adjustment itu melihat tren sebulan dua bulan. Berarti mereka biasanya melakukan penyesuaian gitu loh. Kalau tren dari kurs melemah terus dalam kurun waktu lebih dari satu bulan mereka juga akan melakukan adjustment," kata Mahendra.
Begitu juga dengan perusahaan pengapalan menurut dia juga akan menambah beban biaya surcharge atau biaya tambahan bahan bakar.