Indeks Logistik RI 2023 Turun, Jadi PR Baru Pemerintah
Susi Setiawati
cnbcindonesia.com
2024-03-01
Jakarta, CNBC Indonesia - Ketidakpastian global mengalami eskalasi dalam satu dasawarsa ini. Puncaknya adalah pandemi Covid 19 yang melanda sejak tahun 2020 yang dilanjutkan dengan konflik Rusia dan Ukraina pada awal tahun 2022. Dengan kondisi tersebut, logistik yang baik merupakan salah satu elemen kunci dalam mengatasi tantangan dan menjaga keberlanjutan negara. Setiap negara perlu memastikan pasokan dan distribusi barang/jasa serta alur perdagangan internasional.
Dalam acara CNBC Indonesia Economic Outlook 2024 di Hotel Ritz-Carlton, Pacific Place, Jakarta, Kamis (29/2/2024) sesi Transportation Sector, Rachmat Kaimuddin selaku Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi menyebut Logistik Performance Index (LPI).
"Terus terang LPI itu suatu indeks yg dibuat, relatif periodik, mungkin yang harus kita tidak consideration, bahwa pada saat ini kita baru saja selesai dari Covid, jadi harusnya infrastruktur kita lebih mumpuni," ujar Rachmat dalam sesi Transportation Sector.
"Jadi ada banyak faktor, tapi kalau menurut saya kita jangan hanya melihat satu titik. Kalau infrastruktur terbangun, penggunanya bertambah kita harus mawas diri, review lagi. Satu titik data itu jangan bikin pesimistis," tambah Rachmat.
Kinerja logistik suatu negara pada umumnya diukur melalui Indeks Kinerja Logistik (Logistic Performance Indeks/LPI). LPI merupakan sebuah instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi efisiensi dan keberlanjutan sistem logistik suatu negara atau wilayah. Metode tersebut dipublikasikan oleh World Bank. Dalam penyusunannya, banyak terlibat di dalamnya adalah perusahaan dan ahli logistik guna mengukur aspek-aspek penting logistik seperti infrastruktur transportasi, layanan logistik, peraturan, dan efisiensi proses bisnis. Penilaian memiliki skala 1 sampai dengan 5.
Bank Dunia (World Bank) memperkenalkan Indeks Kinerja Logistik pada 2007 dan menerbitkan secara berkala setiap beberapa tahun, dengan edisi terbaru pada 2023. Perubahan data dan metodologi maupun skor dan peringkat ditentukan berdasarkan bobot indikator yang relevan terus dilakukan perbaikan setiap edisi. Hal Informasi dari indeks ini membantu mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan sistem logistik serta mendorong perbaikan dan peningkatan efisiensi.
Dalam LPI 2023, Indonesia memiliki skor total 3,0 atau berada di peringkat 61. Nilai tersebut sedikit menurun dibandingkan LPI 2018 (skor 3,15 atau peringkat 46), namun masih lebih baik jika dibandingkan LPI 2016 (skor 2,98 atau peringkat 63).
Jika dibandingkan dengan negara-negara berpenghasilan menengah atas (upper-middle income country) yang hanya berada di kisaran 2,54, Indonesia masih tergolong di atas rata-rata.
Namun jika dibandingkan dengan negara mitra yang memiliki pertumbuhan tergolong tinggi di Asia seperti China (skor 3,7 atau peringkat 19) dan India (skor 3,4 atau peringkat 47), serta negara-negara ASEAN seperti Singapura (skor 4,14 atau peringkat 1), Malaysia (skor 3,43 atau peringkat 32), dan Thailand (skor 3,26 atau peringkat 45), maka Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah yang sangat besar di sisi kinerja logistik.
Secara garis besar komponen LPI dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yakni (1) Kelompok input yang terdiri dari kepabeanan (customs), infrastruktur, dan kualitas layanan, serta (2) kelompok outcomes atau kinerja layanan pengiriman yang terdiri dari waktu pengiriman, pengiriman internasional, serta tracking and tracing.
Dari sisi input, indikator logistik memperlihatkan kinerja yang positif. Dari sisi komponen kepabeanan, Indonesia memperoleh skor 2,80, meningkat dibandingkan LPI 2018 (skor 2,67). Dengan kata lain terdapat peningkatan atas efisiensi kepabeanan, transparansi kebijakan kepabeanan, kemudahan proses kepabeanan, dan kerjasama kepabeanan. Sementara itu, dari sisi infrastruktur, Indonesia mendapatkan skor 2,90 atau dapat mempertahankan capaian yang sama di tahun 2018 dan meningkat dibandingkan LPI 2016 (skor 2,65).
Pengukuran komponen ini terkait kualitas, kecepatan, dan ketersediaan infrastruktur di suatu negara seperti jaringan jalan, pelabuhan, bandara, kereta api, dan infrastruktur logistik lainnya. Di sisi lain, komponen kualitas dan kompetensi logistik, justru mengalami penurunan menjadi skor 2,90 atau lebih rendah dari LPI 2018 (skor 3,10). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hal yang perlu diperhatikan terkait kualitas dan kompetensi logistik diukur melalui indikator-indikator seperti kepuasan pelanggan, keahlian tenaga kerja, inovasi, dan efisiensi biaya.
Dari sisi outcome, kinerja logistik mengalami penurunan pada LPI 2023. Dengan basis pengukuran yang terjadi pada tahun 2022 dimana perekonomian dunia telah pulih dari pandemi, meskipun terdapat perubahan pola kerja baru dan kompetisi yang semakin kuat. Dari sisi pengiriman internasional (international shipments), Indonesia memiliki skor 3,0 atau terjun bebas dari LPI 2018 (skor 3,23). Komponen ini mengukur kecepatan pengiriman, kualitas infrastruktur transportasi, layanan logistik, dan kemudahan administrasi.
Dari sisi kecepatan pemrosesan misalnya, Indonesia memiliki waktu pemrosesan di pelabuhan rata-rata 1,1 hari. Sementara itu, negara-negara mitra seperti Malaysia memiliki rata-rata waktu 1,0 hari, China rata-rata 0,8 hari, dan India rata-rata 0,9 hari. Penurunan juga terjadi pada skor tracking dan tracing dengan skor 3,00 atau lebih rendah dari LPI 2018 (skor 3,30). Artinya masih terdapat tugas besar terutama dalam hal ketersediaan sistem pelacakan, tingkat keakuratan informasi, dan kecepatan akses terhadap data pelacakan.
Selanjutnya komponen waktu pengiriman menjadi faktor yang menjadi perhatian besar dalam kinerja logistik yang mengalami penurunan drastis menjadi skor 3,00 atau turun jauh dari LPI 2018 (skor 3,67). Hal ini menggambarkan pemerintah perlu memberikan perhatian serius pada aspek waktu pengiriman, waktu pemrosesan dokumen, waktu pengiriman barang, dan kepatuhan terhadap jadwal yang telah ditentukan.
Salah satu contoh, berdasarkan data waktu pengiriman untuk paket pos yang tersedia pada tahun 2019, Indonesia membutuhkan rata-rata waktu distribusi sebanyak 13,3 hari. Waktu tersebut lebih lama dibandingkan India sebanyak 10,4 hari, Malaysia sebanyak 5,2 hari, atau China sebanyak 5,6 hari. Meskipun demikian, Indonesia juga menunjukkan dwelling time pada aktivitas impor yang lebih baik yakni rata-rata 3,2 hari, atau lebih baik dari LPI 2018 (rata-rata 4 hari).
Melihat capaian tersebut, Pemerintah Indonesia perlu mengakselerasi transformasi struktural dalam mengoptimalkan percepatan waktu dan biaya logistik melalui Ekosistem Logistik Nasional (NLE) yang saat ini sedang dilaksanakan. NLE adalah platform digital yang menyediakan layanan logistik dari hulu ke hilir, memfasilitasi kolaborasi antara Kementerian/Lembaga, perusahaan terkait, dan pelaku logistik. Di sisi lain, Pemerintah juga terus melanjutkan infrastruktur untuk konektivitas seperti pembangunan jaringan jalan tol, pelabuhan, kereta api, dan bandara yang modern dan efisien.
Sumber Berita :
https://www.cnbcindonesia.com/research/20240229184733-128-518721/indeks-logistik-ri-2023-turun-jadi-pr-baru-pemerintahBerita Terbaru
Strategi Kemendag Raih Target Biaya Logistik Turun jadi 12% pada 2029
2025-11-05
Liputan6.com, Jakarta - Rasio biaya logistik nasional ditargetkan turun menjadi 12% terhadap Produk Domestik Bruto pada 2029. Lalu biaya logistik nasional ditargetkan merosot menjadi 8%. Langkah ini sebagai upaya naikkan daya saing dan menekan harga produk lokal supaya lebih terjangkau di pasar domestik dan global.Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Iqbal Shoffan Shofwan, seperti dikutip dari Antara, ditulis Rabu (5/11/2025).Ia menuturkan, efisiensi logistik menjadi salah satu kunci utama memperkuat struktur biaya produksi nasional.Saat ini, biaya logistik Indonesia masih berada di level 14,29% terhadap PDB, jauh lebih tinggi dibandingkan rasio di negara-negara maju yang berada pada kisaran 8–10%."Kami baru mau akan menargetkan dari 14,29% menjadi 12% di tahun 2029. Kemudian di 2045, kami baru mau akan (mengupayakan) menjadi 8%,” kata Iqbal Shoffan Shofwan.Ia menuturkan, penurunan bertahap hingga 8 persen pada 2045 tersebut juga akan diiringi dengan perbaikan infrastruktur, digitalisasi rantai pasok, dan sinergi antarinstansi.Iqbal menilai, tantangan utama Indonesia terletak pada karakteristik geografis sebagai negara kepulauan dan perbedaan tingkat penggunaan teknologi produksi dibandingkan negara pesaing, seperti Vietnam dan India."Salah satu tantangan pemasaran produk buatan Indonesia adalah affordable cost (harga yang terjangkau), karena berbicara harga yang terjangkau sangat kompleks, materialnya bagaimana, kemudian penggunaan teknologinya seperti apa, misalnya kita bandingkan dengan Vietnam, dengan India, itu kayaknya kita masih di bawah,” kata Iqbal.Langkah KemendagUntuk mencapai target efisiensi tersebut, Kemendag telah menempuh langkah-langkah konkret, salah satunya melalui penerapan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 92 Tahun 2020 tentang Perdagangan Antarpulau.Selain itu, pemerintah juga membangun digitalisasi sistem distribusi antarpulau yang memungkinkan pelaku usaha hanya melakukan satu kali input data untuk seluruh proses pengiriman barang, mulai dari manifes muatan hingga instruksi pengapalan."Setiap pelaku usaha itu cukup memasukkan satu input saja, kemudian itu bisa digunakan mulai dari masuk pelabuhan, (penerbitan) shipping instruction, dan segala macam. Jadi lebih efisien,” ujar Iqbal.Pihaknya juga tengah berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk memastikan integrasi sistem transportasi darat dan laut, serta pengumpulan data muatan yang lebih detail dan akurat.“Kami menginginkan barang-barang yang dibawa, yang bergerak itu dari Sumatera ke Jawa misalnya, itu tidak hanya tercatat berat truknya berapa, tapi juga apa yang dibawa, jumlahnya berapa, dan ke mana (tujuan pengirimannya),” ujar dia.Pengusaha Buka-bukaan Penyebab Biaya Logistik Indonesia MahalSebelumnya, Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) membongkar sejumlah komponen yang membuat biaya logistik di Indonesia masih mahal. Beberapa komponen itu selalu dipungut dalam setiap lini rantai pasok domestik.Ketua Umum ALI Mahendra Rianto mengatakan, Indonesia sebagai negara kepulauan, seharusnya serius menggarap transportasi laut. Namun, kenyataannya, masih terlalu berfokus pada angkutan darat."Biaya logistik tadi sudah disampaikan, bahwa ternyata strukturnya adalah karena Indonesia kepulauan, maka biaya terbenar adalah transportasi 39-40 persen itu transportasi. Nah kalau mau kita efisiensikan Ayo kita bahas masalah transportasi ini mana yang paling efisien," ungkap Mahendra di Jakarta, dikutip Jumat (24/1/2025).Melihat dari pandangan rantai pasok, dari first mile hingga last mile, menjadi komponen biaya logistik. Misalnya, ketika produsen menyimpan bahan baku di pelabuhan usai pengiriman, ini menimbulkan biaya.Penyebab Lain Biaya Logistik Mahal"Kalau kita sebagai produsen keep raw material, di pelabuhan 3 hari, raw material itu kena biaya charge, storage charge, belum lagi demurage kalau itu breakbound kalau itu kontainer, belum lagi detention cost, itu menjadi bebannya importir," bebernya.Tak berhenti di situ, ada biaya lagi hasil produksi memerlukan ruang penyimpanan saat proses distribusi. Pada titik ini, produsen bahkan harus merogoh kocek kembali sekitar 8-10 persen untuk biaya yang disebut inventory carrying cost."Kemudian warehouse cost, penyimpanan raw material warehouse, sementara industri-industri sekarang meng-outsource warehouse sewa third party logistic, cost, distribution center, sewa gudang, cost. Yang terakhir biaya admin dan IT Itu sekitar 3-5 persen, itula persentase yang bisa kita lakukan," urainya.
Pemerintah Percepat Penurunan Biaya Logistik Untuk Daya Saing Nasional
2025-11-05
JAKARTA - Pemerintah menargetkan rasio biaya logistik nasional turun menjadi 12 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2029, dengan tujuan jangka panjang menurunkannya hingga 8 persen. Langkah ini diambil sebagai upaya meningkatkan daya saing produk dalam negeri sekaligus menekan harga agar lebih terjangkau di pasar domestik maupun internasional. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Iqbal Shoffan Shofwan, menegaskan bahwa efisiensi logistik menjadi kunci utama dalam memperkuat struktur biaya produksi nasional. Saat ini, biaya logistik Indonesia masih tinggi, yaitu 14,29 persen terhadap PDB, jauh di atas negara maju yang rata-rata berada di 8–10 persen. Iqbal menambahkan bahwa tantangan utama berasal dari karakteristik geografis sebagai negara kepulauan dan perbedaan pemanfaatan teknologi produksi dibandingkan negara pesaing seperti Vietnam dan India.Selain itu, pemerintah menekankan pentingnya affordable cost atau harga produk yang terjangkau, karena biaya produksi sangat dipengaruhi bahan baku, efisiensi proses, dan teknologi yang digunakan. “Kalau dibandingkan dengan Vietnam dan India, kita masih di bawah dalam hal efisiensi dan harga terjangkau,” ucap Iqbal. Penurunan biaya logistik ini juga menjadi fondasi bagi penguatan daya saing produk lokal sehingga mampu bersaing di pasar global, terutama untuk produk ekspor yang membutuhkan struktur biaya yang lebih kompetitif.Langkah Konkrit Kemendag Tingkatkan EfisiensiUntuk mencapai target efisiensi, Kemendag telah menerapkan beberapa langkah strategis, termasuk Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 92 Tahun 2020 tentang Perdagangan Antarpulau. Peraturan ini mendukung sistem distribusi logistik yang lebih efisien melalui digitalisasi, memungkinkan pelaku usaha cukup memasukkan satu kali input data untuk seluruh proses pengiriman barang. Sistem ini mencakup manifes muatan hingga instruksi pengapalan, sehingga mempercepat arus barang dari pelabuhan ke tujuan akhir.Selain itu, Kemendag berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan untuk memastikan integrasi transportasi darat dan laut serta pengumpulan data muatan yang lebih akurat. Dengan integrasi ini, barang yang bergerak dari Sumatera ke Jawa misalnya, dapat tercatat lengkap mulai dari jenis barang, jumlah, hingga tujuan pengiriman. Iqbal menekankan bahwa efisiensi tidak hanya soal biaya tetapi juga kecepatan dan akurasi distribusi, sehingga seluruh rantai pasok nasional menjadi lebih kompetitif.Komponen Biaya Logistik Masih TinggiAsosiasi Logistik Indonesia (ALI) mengungkap sejumlah faktor yang membuat biaya logistik di Indonesia tinggi. Ketua Umum ALI, Mahendra Rianto, menjelaskan bahwa biaya transportasi masih mendominasi, terutama karena fokus angkutan darat belum optimal untuk negara kepulauan. Transportasi darat memakan 39–40 persen dari total biaya logistik, sehingga perlu evaluasi efisiensi transportasi laut dan interkoneksi antar pulau.Selain transportasi, komponen first mile hingga last mile turut memengaruhi biaya, termasuk biaya penyimpanan bahan baku di pelabuhan setelah pengiriman. Proses ini menimbulkan biaya tambahan yang cukup besar bagi produsen, dan menjadi salah satu faktor utama tingginya biaya logistik nasional. Mahendra menekankan bahwa penurunan biaya logistik tidak hanya berdampak pada harga barang, tetapi juga mendukung kelancaran ekspor-impor dan daya saing nasional.Tantangan Lain dalam Rantai PasokBiaya lain yang ikut membebani logistik adalah inventory carrying cost atau biaya penyimpanan barang selama distribusi, yang bisa mencapai 8–10 persen dari nilai produk. Warehouse cost atau biaya gudang juga memakan porsi signifikan, meskipun banyak industri kini memilih menyewa pihak ketiga sebagai third party logistic. Selain itu, biaya administrasi dan IT menyumbang sekitar 3–5 persen.Menurut Iqbal, kombinasi perbaikan infrastruktur, digitalisasi rantai pasok, dan sinergi antarinstansi menjadi strategi utama untuk menurunkan biaya logistik secara bertahap hingga 12 persen pada 2029, kemudian 8 persen pada 2045. Kebijakan ini diharapkan tidak hanya menekan harga produk, tetapi juga meningkatkan efisiensi dan profesionalisme pelaku usaha, mendukung perekonomian nasional, serta mendorong Indonesia menjadi negara dengan logistik yang kompetitif di level global.
Pengusaha Logistik: Cek Fisik Jalur Hijau Bea Cukai Tak Efektif Kerek Penerimaan
2025-10-05
Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) menilai langkah cek fisik jalur hijau oleh Bea Cukai di pelabuhan bukanlah cara yang efektif untuk menambah pundi-pundi kas negara melalui penerimaan negara dari kepabeanan. Ketua Umum ALI Mahendra Rianto memandang bahwa meningkatkan penerimaan negara melalui penegakan hukum dapat dilakukan dengan menambah jumlah mesin pemindai kontainer. Dengan alat pemindai canggih yang lebih banyak, arus kontainer yang diperiksa otomatis akan lebih banyak dan mempercepat waktu tunggu barang (dwelling time). “Sudah bukan zamannya lagi periksa fisik. Alat-alat canggih sekarang sudah banyak. Cuma kan banyak alasan, apakah rusak, ataukah jumlahnya cuma sedikit [alatnya]. ” ujarnya kepada Bisnis, dikutip pada Minggu (5/10/2025). Untuk diketahui, jalur hijau merujuk pada sistem pelayanan serta pengawasan dengan tidak melakukan pemeriksaan fisik terhadap pengeluaran barang impor. Namun, pemeriksaan tetap dilakukan melalui penilaian dokumen dan penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB). Jalur hijau ditujukan untuk importir dengan risiko sedang yang mengimpor barang dengan risiko rendah, serta importir dengan risiko rendah yang mengimpor barang dengan risiko rendah atau sedang. Mahendra menganalogikan, kapal-kapal yang membawa kontainer sama halnya dengan seseorang yang akan membayar di supermarket. Apabila konter yang tersedia banyak untuk melakukan pembayaran dan memindai harga, tak akan ada antrean panjang.Mahendra menyayangkan kebijakan pemerintah yang berubah-ubah. Terlebih, kesiapan pemeriksaan terhadap jalur hijau—di samping jalur merah yang juga wajib dicek fisik—belum tentu memadai dan dikhawatirkan menimbulkan antrean, serta memperpanjang dwelling time.Mengutip situs resmi Indonesia National Single Window (INSW), dwelling time di pelabuhan-pelabuhan Indonesia rata-rata selama 2,47 hari berdasarkan data per Agustus 2025. Untuk itu, Mahendra meminta agar pemerintah tidak mengambil kebijakan yang berlawanan dengan yang sudah dilakukan sebelumnya. Cukup dengan menambah dan memperbanyak alat pindai canggih di seluruh pelabuhan. “Penambahan PNBP itu sederhana, tambah saja alat pemeriksaan yang modern, yang bisa mendeteksi apapun yang ada di dalam kontainer. Sama kayak di pelabuhan udara [bandara]” tambahnya. Sementara saat ini, pelabuhan-pelabuhan di Indonesia telah menggunakan sistem Hi-Co Scan. Mengutip laman resmi Kementerian Perhubungan, teknologi ini memungkinkan pemeriksaan dan pemindaian barang yang lebih cepat dan akurat sehingga diharapkan dapat mengurangi waktu antrean dan meningkatkan produktivitas di pelabuhan. Selain itu, data yang dihasilkan oleh sistem ini juga dapat mendukung perencanaan dan pengambilan keputusan yang lebih baik. Sebelumnya, wacana pemeriksaan fisik jalur hijau terlontar dari Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa. Harapannya, penegakan hukum dan kepatuhan di bidang kepabeanan dapat membantu penerimaan negara yang ditargetkan lebih tinggi tahun depan. "Jalur ini biasanya enggak diperiksa. Sekarang kita randomize sehari berapa biji, 10 atau lebih, dites random, jadi enggak bisa main-main lagi," jelasnya. Dirinya juga memastikan hal tersebut tidak akan mengganggu dwelling time maupun kelancaran bongkar muat barang di pelabuhan. Purbaya malah mencurigai importir yang mengkritisi rencananya tersebut. "Makanya saya random sampel, enggak akan terus-terusan banyak. Mereka ketakutan nyembunyiin apa tuh?" kata Purbaya sambil tertawa.
